mewadahi yang tak terwadahi
mengungkap yang belum terungkap
menyusuri lorong-lorong yang jarang dilewati

Monday, October 22, 2012

Perubahan-Sebuah renungan atas buku tentang A de Mello SJ


Anthony de Mello, SJ dalam buku karangan Pastor Carlos, SJ pernah mengatakan bahwa perubahan yang sebenarnya adalah perubahan yang tidak dipaksakan, perubahan yang terjadi begitu saja, natural.
Sontak respon otakku mempertanyakan tentang kalimat ini. Perubahan yang natural. Seperti apa ya? Perubahan yang tidak diupayakan. Seperti apa itu? Apakah ada perubahan yang begitu saja terjadi?

Sambil membuka lembar demi lembar buku yang memuat ajaran-ajaran Pastor de Mello, SJ itu aku mencoba untuk meresapinya hari demi hari.Lalu sekarang aku ingin menuangkan pengalamanku dalam bereksperimen, merasa, berpikir tentang ide-ide dari buku tersebut.

Pertama adalah perubahan yang natural.
Mungkin aku tidak akrab dengan terminologi ini karena aku akrab dengan hal-hal yang bersifat eksternal yang dimasukkan ke dalam diriku. Misalnya ide-ide, nilai-nilai, pendapat-pendapat yang berasal dari buku, orang-orang, institusi keluarga, masyarakat, gereja, dll. Terlepas bahwa segala ide, nilai, pendapat tersebut adalah baik namun yang menjadi keprihatiannya adalah kelekatan dengan hal-hal eksternal. Aku sibuk mengakrabi hal-hal eksternal untuk 'membenahi' internal diriku agar dapat mencapai nilai-nilai standar yang ditetapkan oleh pihak eksternal. Waaaaa . Maka, jika aku mendengar kata perubahan, dalam benakku muncullah paham dimana aku perlu menyesuaikan diri agar semakin dapat mencapai hal-hal yang distandarkan oleh pihak luar atas diriku. Perubahan dalam hal ini menjadi sesuatu yang harus dilakukan demi tercapainya maksud tersebut.

Aku telah lupa, atau sengaja lupa dan tak sadar bahwa perubahan hakikatnya adalah sesuatu yang sangat alami. Tak perlu dipaksa-paksa atau dimanipulasi dan direkayasa. Contoh konkritnya adalah ketika kita mengalami malam gelap kemudian berganti fajar dan siang. Itu terjadi begitu saja. Alami. Tidak diupayakan. Begitu pula ketika daun berguguran ketika pohon meranggas pada musim kemarau. Ya... begitu saja. Tanpa perlu diusahakan. Bahwa sang pohon melalukan upaya meranggas, itu dilakukannya oleh dirinya bukan oleh pihak luar.

Perubahan yang alami membuat seimbang, damai, dan tenang. Sifatnya tidak serta merta alias membutuhkan waktu dan bersifat long lasting.


Kedua adalah berorientasi ke dalam. 
Aku cenderung mudah mencari ke luar. Entah itu mencari teman, kegembiraan, kepuasan, dll. Begitu bersemangatnya aku mencari segalanya itu. Proses pencarian itu membuatku sibuk, bersemangat luar biasa, dan bergairah. Namun, seringkali yang kutemui adalah sebuah kehampaan. Proses yang menggebu-gebu itu hanyalah berujung sebuah ketidakpuasan. Itu semua karena orientasinya adalah "keluar".

Aku lupa bahwa aku punya sisi dalam, bukan saja sisi luar. Dan sisi itu seringkali terlupa karena memang tak populer jika dibandingkan dengan sisi lainnya yaitu sisi luar. Aku mudah keluar tapi takut ke dalam. Padahal, kebijaksanaan, damai, tenang, kebahagiaan, kepuasan, dan teman sejati (yang adalah semua hal yang kucari di luar) itu disediakan oleh sisi dalam. ya! itu sebuah kebenaran. Semua disediakan dengan berlimpah ruah oleh sisi dalamku. Dan baru saat-saat ini lah aku mengalami keakraban dengan sisi dalamku. Sisi yang dulu membuatku tak nyaman, takut, dan kutinggalkan. Namun, sekarang sisi itu tlah menjadi sahabat sejatiku.

Dan aku saat-saat ini merasa bahwa aku telah berubah... begitu saja, perlahan, alami menuju keintiman dan kedalaman diri. 
 
pic diunggah dari richardbejah.com

Wednesday, February 22, 2012

seringai

Sudah minggu ketiga. Kulihat ia masih kurang fit saja. Terdengar suara batuknya makin menjadi. Terkadang ia membuang ingusnya. Mmm.... mengapa perlu waktu lama baginya untuk sembuh.

Tiga minggu yang lalu aku masih bersenda gurau dengannya. Dan ia masih menanggapi gurauanku dengan tawa khasnya yang membahana. Membuat seluruh isi ruangan kadang bertanya-tanya lelucon macam apa yang membuatnya tertawa terkikik-kikik seperti itu. Beberapa kali gaya tertawanya membuatku ikut tertawa geli sekali, hingga perutku terguncang. Yah... itu tiga minggu yang lalu. Sekarang sudah hampir akhir minggu ketiga. Tetapi sepertinya belum juga flu dan batuk reda dari tubuhnya.

"Sudah minum obat,?" tanyaku.
"u...u...udah...," jawabnya diselingi batuk-batuk yang dalam. Membuatku miris melihatnya.
"Minum obat apa?," tanyaku lagi.
"Biasalah...obat pilek Rhinos, dan makanan minuman panas," paparnya. "Juga vitamin C!," tambahnya.
"Mmm... mungkin kamu kecapekan... Coba istirahat aja," nasehatku hati-hati takut kalau-kalau ia merasa digurui karena ia paling sensitif soal itu.
"Iya...betul...thanks ya....," sahutnya pelan dan penuh pengakuan.

***

Hari pertama dalam minggu. Seperti biasa ia datang mepet sebelum jam kerja dimulai. Lengkap dengan perlengkapan kerjanya. Jaket hijau army, tas coklat, sandal jepit.
"Hai...", sapaku dengan senyum dikulum yang kubuat-buat.
"Hai...pagi.....," sapanya dengan nyengir lebarnya.
Ah sudah lebih baik rupanya. Senang bisa melihat seringai itu lagi. Dengan seringai itu aku tergerak untuk menggoda-godanya lagi dengan lelucon dan ejekan kecil yang selalu membuatku dapat melihat segala ekspresinya yang penuh warna. Ngambek, tertawa, manja-manja...

Hari ini ia membuka tas makanannya. Tali tas oranye ngejreng itu ia buka buru-buru. Ia keluarkan kotak makanan sarapan paginya satu-satu. Pertama ia keluarkan botol besar berisi 1.5 liternya berisi air putih dan perasan lemon. Lalu tangannya mengambil kotak besar tempat ice cream berisi potongan-potongan buah. Kemudian tangannya meraih lagi Tupperware kesukaannya dengan tutup dan tempat yang berbeda warna. Entah kenapa ia suka mengganti-ganti jodoh Tupperwarenya. Wah... banyak juga. Tas oranye ngejreng-nya bagai kotak ajaib Doremon yang menjamin perutnya nyaman sepanjang ia bekerja hari ini.

Aku melirik kotak makannya. "Masak sendiri?"
"Iya," jawabnya sambil nyengir.
"Warna-warni...," tambahku tetap berusaha membuka percakapan.
"He eh..," jawabnya pendek sambil tetap asyik menyendok sayur oseng-oseng buatannya.
Beberapa sendok suapan nasi selalu diselingi besutan ingusnya.... atau batuk-batuknya yang terdengar seperti batuk nenek-nenek apalagi saat berada di ruangan berpendingin udara.
Hatiku agak miris melihat ia tampak kewalahan dengan penyakitnya itu. Hmmm masih belum fit benar ternyata.
Tapi alih-alih menasehatinya, aku memilih untuk menggodanya.
"Susah yaa jadi anak ingusan...," komentarku dengan seringai nakalku layaknya serigala yang sedang ingin memangsa anak domba pada dongeng anak-anak.
Sontak ia mengerutkan keningnya dan memonyongkan kedua bibir mungilnya. Kalau di komik-komik mungkin digambarkan hidung dan telinganya berasap. hahah, aku tertawa geli dalam hati. Kutahan saja.
"Kenapa...? Kok kaya banteng gitu.... eh...banteng mana ada yang ingusan ya..?," godaku sambil tersenyum simpul.
"Uhh.... orang lagi sakit malah digodain...gak mau gak mau...... sebel.....gak suka ah.. bukannya dibantuin apa gimana gitu... ," omelannya mengalir tak bisa disetop.

Aku tak sadar ada yang berbeda saat ia bermanja seperti itu. Mengingat tampilannya yang agak kelaki-lakian dan gaya bicaranya yang hampir..., yah hampir selalu serius menanggapi apapun. Ingin tertawa terbahak-bahak melihatnya seolah tak berdaya hanya karena sebuah cairan putih kental yang bernama ingus. Membuat wajah sangarnya berubah melemah.... ya melemah bukan melembut. Lemah tak kuasa.

***

"eh... tahu gak?" ucapan pertama ketika ia membuka percakapan.
"gak...," jawabku seperti biasa kalau menanggapi ungkapan seperti itu dan pastinya ditanggapinya dengan bibir memblenya.
"aku mau cerita...!' protesnya
"Ya udah cerita aja...,"
"Tau gak...?"
"Gak tau....ya udah cerita aja...," senyumku nakal karena ia paling sulit menghilangkan kebiasaannya untuk membuka percakapan dengan tau gak itu.

Monday, February 13, 2012

love


rasa ini menghampiriku
sesaat setelah rasa sedih menderaku hampir seminggu
rasa hambar
tidak menggelegak
namun juga tidak merana
biasa saja
damai?
entah
biasa saja
mmmm

ketika sedih menguasaiku
rasa sayang, ingin dekat dengan malaikatku begitu menghebat

namun,
ketika posisi berganti
ketika aku dapat menguasai sedihku
namun ketika reda rasa sedih itu
yang kudapati hanya senyap yang hening

tak ada lagi rasa sayang menggebu
ingin dekat dengannya
memeluknya
menangis di dadanya
dan ingin mengubahnya

Eureka...!!
this is called love
the core of love
is not an emotion
emotion can change easily
can conquer us time by time
but love is a commitment
to care others
not for our own sake
but for them...

I dedicate this poem for my angel

the pic was taken from http://www.betterphoto.com/searchResults

Untuk malaikatku


Mengenalnya sepanjang hidupku …

Sosoknya begitu luar biasa

Rasa membuncah kekaguman selalu timbul saat menceritakannya

Lagi dan lagi

Membuat karakternya makin menguat dalam proses memahat pribadiku

Kata-kata mutiaranya, konsep-konsep hidup hebatnya, impian-impian besarnya

Juga pencapaian hidupnya

Ditambah kelihaiannya mengapresiasiku, menumbuhkan kebutuhan berprestasi dan menjadikannya

segala-galanya dalam hidupku, dan pengamatan jitunya atas tumbuh kembangnya pribadiku

Membutakan mataku

Membuatku lengah bahwa itu semua hanya ilusi

Seolah indah megah dan luar biasa

Namun hanya sebuah kekosongan saja ternyata

Ternyata semua hanyalah isme… konsep …

Karena semua adalah kosong…

Ketika kuterjaga

Ada kepedihan di sana

Ada sebuah tanda tanya besar: Kenapa

Kenapa malaikatku ambyar buyar

Dan berubah menjadi manusia biasa

Namun, lebih baik melihatnya menjadi manusia

Hingga aku bisa menggandengnya, mengasihinya layaknya manusia di bumi


http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRumEXL3G9l75tc5RTI-r07dxwE_80m033gX30l7ywRmm8fBSju

Wednesday, February 01, 2012

Letting go




According to Oxford Online Dictionary, letting go is a figurative/ metaphoric expression meaning you must let the past go.
This expression is quite often recommended by our friends, relative, or anyone to make us move on in our life. When we are down, troubled or confused about something, sometimes it is caused by a burden that we carry on our shoulder everywhere.

It seems pretty easy to understand that we must let go the burden which can be our past, wish, sadness, fear, family matters, etc (you name it) but it is hard to be done. Maybe we need a lot of time to say, "I am done with it. Enough!!!" and we put our burden down, and go on as a free person. It looks like we "enjoy" to be the prisoner of our burden.

We can speak out "Enough!" when we have suffered badly and cannot resist with it and we admit that we are weakened by the burden.

It is our choice to start saying enough to our burden, start letting go of them and be a free person. A person who can seize the day, whatever and however it is because there is nothing that can take our day from us except us ourselves. Carpe diem.